Oleh : Arman Sine
Kader PMII USHULUDDIN
SIMAKBERITA.COM – Pendidikan merupakan suatu entitas yang sangat fundamental dalam setiap bangsa atau negara. Pendidikan bisa dijadikan indikator dari majunya sebuah negara selain indikator ekonomi. Bahkan, tanpa pendidikan, negara tersbut tidak akan bisa bersaing dalam bidang apapun karena pendidikanlah yang akan menciptakan manusia-manusia unggul.
Indonesia merupakan negara yang menjamin pendidikan untuk seluruh rakyatnya. Hal itu tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi “Mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Jadi, segala kebijakan yang diambil oleh negara dalam pendidikan harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang menjadi sebuah pertanyaan besar kita hari ini, apakah sekarang sistem pendidikan kita sudah menjamin untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?
Melihat sistem pendidikan kita sekarang, terutuma dalam proses belajar mengajar dalam sekolah menengah, agaknya sedikit rumit untuk dianalisis.
Landasan analisis agar bisa melihat sampai dimana efektivitas dari penerapan sistem pendidikan yang selama ini kita jalani belum baku sehingga kita seperti meraba capaian dari sistem pendidikan kita.
Jalannya sistem pendidikan (sistem belajar mengajar) selama satu dekade ini sudah banyak mengalami rekonstruksi.
Segala perubahan-perubahan itu tidak semuanya mulus, masih banyak ditemukan kekurangan-kekuranagan atau kelemahan dalam sistem itu.
Misalnya, kita tarik sebuah contoh kebijakan K-13. Mungkin secara teoritik kebijakan ini bagus dalam sistem pendidikan kita di masa depan, akan tetapi dalam ranah praktisnya, masih banyak kelemahan, terkhusus daerah pelosok yang susah akan akses modernitas.
Jauh lebih mendalam di sistem pendidikan kita, jika dibandingkan dengan negara lainnya, pendidikan kita masih jauh tertinggal. Negara lain dengan pendidikan sudah mampu menjawab setiap tantangan zaman, sudah mempau menjawab segala kebutuhan yang harus dipenuhi di era sekarang, sedangkan pendidikan kita masih berkutat dengan sebuah cerita lama, sangat lama, hafalan-hafalan yang menurut penulis sangat menguras waktu siswa dan menutup ruang siswa berekspresi dalam belajarnya.
Jika kita elaborasi sistem pendidikan kita, pengambilan indikator untuk menilai kemampuan atau hasil belajar siswa sangatlah timpang apabila hanya diukur dengan angka.
Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa kita hidup di era positivistik, akan tetapi bukankah karena sistem posisitivistik inilah sistem pendidikan yang membebaskan tidak tercapai, seperti yang di katakan Bapak Pendidikan Dunia, Paulo Freire.
Karena indikator pengambilan hasil belajar siswa disandarkan dengan angka, siswa tidak memikirkan harus belajar juga untuk melihat dunia luar, apa yang harus dicapai di dunia luar.
Siswa hanya fokus dengan materi yang dogmatis, materi yang dihafal bukan dipahami. Kenapa? Karena yang dicari siswa bukan kualitas belajar, tetapi yang dikejar hanya nilai.
Tidak kalah mengerikan, ujian nasional yang setiap tahun dilaksanakan dan menjadi penilaian akhir dari belajar siswa yang ditempuh selama tiga tahun di sekolah menengah (pertama dan atas).
Ini menjadi momok menakutkan siswa kerena ketakutan tidak lulus sehingga memutuskan harapan masa depan. Ujian nasional bagaikan hantu, pasti akan datang bergentayangan.
Pada akhirnya siswa merasa terbebani dengan ujian nasional. Dampaknya, waktu siswa dihabiskan dengan belajar, belajarnya juga bukan belajar yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, tetapi belajar untuk menghafal segala materi agara bisa lulus di ujian nasional nanti.
Semua itu adalah problematika yang ada dalam sistem pendidikan kita, yang selama ini belum terpecahkan solusinya. Ataukah selama ini kita tidak sadar akan semua permasalahan ini, terutama ujian nasional yang sudah menjadi hantu paling mengerikan bagi siswa. Apakah harus dihapus atau tetap dilakukan ujian nasional ini? Apa dampak yang akan ditimbulkan apabila ujian nasional dihapu?
Wacana Penghapusan Ujian Nasional
Belakangan ini kita melihat banyak pemberitaan tentang wacana penghapusan ujian nasional oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Penghapusan ujan nasional mulai akan diterapkan pada tahun 2021. Wacana ini menjadi perbincangan di kalangan akademisi, bahkan di masyarakat awam sekalipun.
Pro dan kontra di publik tentang wacana ini mewarnai perbincangan, tetapi bukan hal itu yang harus ditelaah secara komprehensif tentang wacana pengapusan ujian nasional ini melainkan apakah sudah tepat Mendikbud mengeluarkan kebijakan ini.
Era modern seperti sekarang ini, kita ditutut untuk serba cepat. Jadi, dunia pendidikan harus juga cepat menyediakan output dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas agar dapat menjawab tantangan global.
Sudah dijelaskan sebelumnya permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan kita. Penghapusan ujian ini pada dasarnya bukan menghilangkan penilaian dari hasil belajar.
Penilaian dengan ujian nasional pada dasarnya membebani siswa sehingga siswa fokus belajar dengan metode hafalan, bukan lagi belajar dengan ekspresi siswa itu sendiri.
Dengan penghapusan ujian nasional ini pula, tidak lagi membebani guru karena hasil belajar yang diukur denga angka. Jadi, guru bisa bereksperimen dengan metode belajar yang disukai siswa.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus memberi penyadaran kepada siswa akan kondisi luar.
Dengan ini, guru bisa memulai metode-metode yang tidak hanya dalam ruangan, sehingga siswa bisa melihat bagaimana dunia luar dan tidak lagi memikirkan beban hafalan materi, tapi akan lebih mengekpresikan diri dan mengeksplor potensi diri mereka. Siswa tidak harus memburu nilai dengan angka semata.
Ujian nasional pada dasarnya baik, tapi harus dipahami bahwa ujian nasional yang bersifat generalisir ini berbahaya karena setiap daerah atau wilayah memiliki kondisi pendidikan yang berbeda, tolak ukur kota tidak akan sema dengan pedesaan. Apalagi berbasis UNBK ini pasti akan membebani daerah yang jauh dari akses internet.
Tindakan Mendikbud pada dasarnya sudah tepat. Dengan ini, sistem dalam pendidikan bisa kita ubah perlahan-perlahan, misalnya dengan jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari siswa.
Cara pandang jauh kedepan dibutuhkan melihat pendidikan kita yang berbasis kebudayaan. Dengan kebijakan ini, ekspresi telah dibuka untuk pendidikan kita dan harus dipahami pula bahwa landasannya adalah wawsan kebudayaan.
Yang ingin penulis katakan, dengan kebijakan ini, kita harapkan siswa tidak ada lagi beban moral untuk mendapatkan nilai di UN, yang ada siswa bisa mulai berekspresi dengan metode yang lebih variatif yang dibuat oleh guru.
Guru juga tidak ada lagi tekanan untuk mengharuskan siswa tahu apa yang ada di dalam buku. Inilah disebut sebagai pendidikan yang membebaskan dari dogma-dogma kesesatan dalam bahasa saya.
Yang ingin dicapai adalah siswa dengan kulaitas SDM yang mumpuni dengan kebebasan berpikir yang jauh tentang masa depan, bukan siswa tidak kritis yang terpaku dengan tekstualitas ilmu pengetahuan karena semata hanya untuk angka.