Oleh: Saprillah (Kepala Balai Litbang Agama Makassar)
SIMAKBERITA.COM, MAKASSAR – Saya tidak menyangka, tulisan berjudul “Virus Covid-19 dan Kelas Sosial” akan mendapatkan banyak share dan respon.
Tulisan yang dimuat di website blamakassar.co.id, 28 Maret 2020 lalu, entah siapa yang menyalin utuh dan membaginya di media sosial.
Entah mengapa pula, banyak yang meresponnya. Padahal, tulisan ini adalah oto-kritik terhadap diri saya sebagai bagian dari kelas menengah.
Sebuah tulisan, apalagi artikel, tentu berangkat dari satu frame berpikir yang sangat mungkin berbeda dengan berbagai frame berpikir lainnya.
Sebagian respon menyebutkan, tulisan ini menggugah kesadaran sosial untuk lebih memerhatikan masyarakat miskin, yang sedang terancam hidupnya akibat sirkulasi ekonomi yang sedang mampet.
Sebagian respon datang dengan menyebutkannya sebagai kampanye keluar rumah. Sekali lagi, perspektif memang sangat menentukan bagaimana suatu tulisan dibaca dan kemudian ditafsir. Kata Roland Barthes, The Death of the Author. Pengarang telah mati ketika karyanya dibaca publik.
Virus covid-19 ini menggugah kesadaran bersama, bahwa sistem sekuritas sosial kita tidak berjalan baik. Kampanye “stay at home” tidak sanggup menggugah kesadaran sebagian kecil masyarakat lapis bawah untuk tetap tinggal di rumah.
Saya sendiri, sudah hampir dua pekan mengurung diri di rumah, dan hanya keluar untuk keperluan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Segala bentuk aktivitas kantor dikontrol melalui Grup Whatsapp atau aplikasi Zoom Cloud Meeting.
Kalaupun harus ke kantor, tentu sangat terkait dengan kebutuhan pekerjaan yang sangat memaksa. Anak-anak (yang masih usia bermain) pun dilarang untuk keluar. Kebiasaan memesan via ojek online pun saya tidak izinkan. Sudah dua Jumat, saya tidak mengikuti Salat Jumat.
Semua ini dilatari kesadaran, bahwa virus ini hanya bisa diselesaikan dengan cara memutus mata rantai. Tetapi, ada juga sebagian kecil masyarakat yang tetap beraktivitas sebagaimana biasa.
Apakah mereka tidak khawatir? Tentu saja, iya. Siapa yang tidak khawatir keberlangsungan hidupnya terancam. Tetapi, kelas bawah ini, ternyata sudah memiliki persoalan sosial yang akut sejak lama, yaitu kemiskinan.
Mereka keluar rumah bukan bentuk penentangan terhadap larangan apapun pembangkangan. Tetapi, pilihan untuk tinggal di rumah, adalah pilihan yang tidak ideal.
Keluar atau tinggal di rumah, mereka diperhadapkan pada persoalan yang sama-sama mengancam keberlangsungan hidup.
Dengan pola pikir ini, kelas bawah ini sangat potensial untuk terpapar dengan virus ini. Jika itu terjadi, penanganan akan semakin sulit dilakukan.
Sekuritas Sosial
Jika persoalan mendasar sudah ditemukan, maka jawabannya adalah pendekatan yang berbeda. Kampanye social distancing melalui media sosial hanya cocok untuk kelas menengah (sebagaimana saya sebutkan di tulisan pertama).
Kelompok bawah ini hanya bisa disadarkan dengan memberi jaminan sosial atas keberlangsungan hidup mereka. Setidaknya, selama masa social distancing.
Dalam antropologi dikenal istilah sekuritas sosial. Kelompok masyarakat yang lebih mampu memberikan jaminan keamanan ekonomi kepada kelompok masyarakat bawah, seperti payabo, pedagang sayuran, penjual ikan, dan lain-lain.
Pengaktifan sekuritas sosial ini bisa dilakukan oleh kelas menengah melalui kampanye masif, sebagaimana yang telah kita lakukan bersama selama ini.
Kelas menengah ini adalah kekuatan yang paling strategis. Kelompok ini dekat dengan warga kelas bawah. Jejaring sosial selama ini terbentuk melalui jejaring penjual dan pembeli.
Kelas menengah bisa menjadi agen sosial yang sangat efektif untuk menunjang kampanye perlawanan terhadap covid-19.
Kelas menengah, tentu saja, tidak bisa memikirkan diri sendiri, dan hanya menyalahkan mereka yang terpaksa keluar rumah.
Pilihannya adalah membantu dengan cara apapun yang bisa dilakukan. Cara ini adalah bentuk partisipasi yang sangat dibutuhkan dalam negara demokrasi.
Jaminan sosial dengan menafkahkan sebagian kemampuan yang dimilikinya adalah strategi yang paling ideal untuk membuat kelompok bawah ini “stay at home”. Mereka tidak membutuhkan retorika, tetapi kepastian.
Kelas menengah bisa membentuk aliansi apapun untuk memastikan, bahwa warga miskin ini tidak “menggadaikan” tubuh mereka di hadapan virus corona.
Jika kekuatab pemerintah, lembaga filantropi, warga kelas menengah bersatu membuat jejaring pengaman ekonomi, kita tidak hanya berhasil melawan penyebaran covid-19, tetapi juga berhasil menemukan kembali intan permata yang telah lama hilang di masyarakat urban, solidaritas sosial.
Setelah kampanye “di rumah saja” sukses menahan laju kelas menengah keluar rumah, saatnya kita kampanyekan “berbagi dengan tetangga”.
Ayo bergerak! (*)