SIMAKBERITA.COM, MAKASSAR – Beberapa pekan terakhir ini, sejumlah media online menyoroti soal sewa-menyewa TDU (Tanda Daftar Usaha) di lapak Kanrerong Karebosi Jalan Kartini, seperti yang dinyatakan oleh Kepala UPTD Kanrerong “sangat tendensius” dan kelihatannya memang mengarah ke situ, ujar Muh. Bahar Razak (Ketua DPD KGS LAI Sulsel).
“Seharusnya dalam menyikapi persoalan lapak Kanrerong Karebosi itu, harus pula sesuai yang ada di ketentuan Peraturan Walikota Makassar Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pedagang Kaki Lima Kanrerong Karebosi, sebab jika kita menilik ke Perwali tersebut, memang agak serba salah ketika melihat dari jangka waktu masa berlaku TDU yang hanya 2 tahun. Sebab dalam perjalanan 2 tahun itu, tentunya tidak akan mulus seperti yang kita lihat pada awal-awalnya berdiri, dan yang paling mampu merasakan perjalanannya itu hanya pengelola atau UPTD,” tuturnya.
Kemudian Bahar juga mempertanyakan yang mana dipersewakan itu sebenarnya, apakah TDU atau Lapaknya?
“Saya kira tidak akan mungkin TDU yang sudah atas nama seseorang, lalu kemudian apa yang dipersewakan? Apalagi dipindahtangankan (kecuali tempat usaha), sebagaimana yang disebutkan pada pasal 1 angka 11 Perwali,” katanya dengan nada tanya.
“Tanda daftar usaha yang selanjutnya disingkat TDU adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk sebagai tanda bukti pendaftaran usaha sebagai alat kendali untuk pemberdayaan dan pengembangan usaha kreatif pada lokasi PKL kanrerong,” jelasnya.
Selain dari itu, lanjut bung Bahar, panggilan akrabnya, sekalipun secara fungsional operasionalisasi PKL dilaksanakan oleh UPTD, namun dalam pelaksanaannya harus memiliki aturan tersendiri (lihat pasal 3 Perwali) dan seharusnya sudah dibentuk oleh pihak yang berwenang.
Lebih jauh dikatakan bahwa pada pasal 7 ayat (2) huruf d, dimana setiap PKL yang berusaha di Kanrerong telah mengisi surat pernyataan, lalu isi pernyataan tersebut hanya mengatur salah satu-nya pada poin 4), “tidak memindahkantangankan TDU kepada pihak lain.”
“Jadi saya kira, sekali lagi TDU-nya tidak akan mungkin dipersewakan. Kalaupun Lapak nya yang dipersewakan, tentu yang menyewakan adalah pemegang TDU yang telah Bangkrut atau tutup usaha. Atau karena mungkin ada sebahagian kosong yang belum didaftarkan. PKL, cuman sayangnya istilah lapak tidak dikenal oleh Perwali,” ujarnya.
Kemudian jika semua PKL sudah tutup usaha atau Bangkrut, kira-kira Perwali itu masih bermanfaat apa tidak? Kemudian jika ada inisiatif dari UPTD agar tetap ramai dan dikunjungi para pembeli, lalu kemudian usaha yang sudah tutup atau bangkrut tersebut dibuka kembali kemudian dijalankan oleh PKL lainnya, lalu salahnya di mana? Tanya bahar.
Ulas Bahar pula. TDU itu yang menerbitkan Walikota Makassar, kecuali ada pendelegasian kepada pejabat lainnya, dan harus diketahui pula, jika TDU itu hanya bentuk administrasi atau surat, di mana setiap satu tempat usaha (lapak). harus memiliki TDU kemudian berlaku hanya 2 tahun sejak diterbitkannya, selanjutnya dapat diperpanjang tanpa batas waktu yang ditentukan oleh Perwali.
Lagi pula jika Pemohon PKL tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Walikota, kan dapat ditolak, yang tentunya dengan menyampaikan alasan-alasan Penolakan dari Pejabat terkait.
Apalagi pengaturan Zona itu yang menentukan adalah Dinas Koperasi UKM , dan untuk menempati Tempat Usaha, dasarnya adalah TDU, yang artinya, setiap lapak melekat hak kekuasaan atas nama yang ada di TDU, yang bahkan kegiatan usaha pun harus sesuai dengan yang tercantum pada TDU. Jadi jika ada terjadi sewa-menyewa, tentu yang paling bertanggung jawab adalah pemegang TDU sekaligus yang menguasai Lapak.
“Saya kira id setiap Lembaga Pemerintahan di manapun, Kebijakan itu penting ketika terdapat kondisi-kondisi tertentu, dengan tujuan utama untuk kepentingan yang lebih baik dan lebih besar dari pada tidak dilakukan, yang kemungkinan besarnya akan menimbulkan kerugian yang lebih besar pula dan akan menjadi sia-sia,” terangnya.
Kebijakan untuk kelangsungan Pasar Kuliner Kanrerong yang hampir redup perlu diterapkan, karena jika tanpa terobosan yang dilakukan oleh UPTD, yakinlah Kanrerong akan mati suri, lagi pula di Kanrerong itu dalam operasionalnya mungkin tidak menggunakan Uang Daerah, sedangkan fasilitas yang nyata dan telah dinikmati oleh PKL seperti listrik, air bersih, Wifi serta keamanan itu membutuhkan anggaran. Tentu muncul pertanyaan, apakah Fasilitas yang dinikmati itu ada konpensasi dari PKL yang telah berusaha mencari “keuntungan” di lokasi Kanrerong?
Pemkot sebaiknya mempertimbangkan agar dapat memberikan reward terhadap UPTD, karena setahun yang lalu Kanrerong itu seperti pasar mati dan hampir menjadi barang rongsokan yang tidak terurus. Mengapa setelah ramai seperti sekarang ada-ada saja orang yang mau jadi pahlawan?
“Saya kira warga tidak akan terpengaruh dengan berita-berita yang memojokkan dan sangat “tendensius” yang sengaja digoreng dan diduga bertujuan untuk “memperoleh sesuatu”. Dan jika mereka itu berhasil membuat konflik kemudian ada korban, maka pada akhirnya, justru membahayakan kelangsungan usaha PKL Kanrerong itu sendiri dan akan merugikan masyarakat Kota makassar pada umumnya, karena untuk menghidupkan sesuatu yang mati itu sulit,” tutupnya. (*/red).